Inkubator tidak berdiri sendiri, melainkan berada di dalam suatu ekosistem startup dan inovasi. Suatu ekosistem terdiri atas sejumlah elemen, yang masing-masing saling berinteraksi untuk mencapai tujuan bersama serta tentunya tujuan masing-masing.
Dalam konteks ekosistem startup, maka terdapat sejumlah elemen sebagai berikut (terdapat banyak model ekosistem startup, untuk keperluan pembahasan saat ini digunakan model yang paling sederhana yaitu dari startupcommons.org):
Inkubator tergolong sebagai “Support Organization & Services”. Pada model di atas, inkubator memfasilitasi startup untuk berinovasi pada produk dan model bisnisnya sehingga dapat menjadi perusahaan besar di kemudian hari, dengan memanfaatkan HKI yang dihasilkan dari aktivitas riset di universitas dan lembaga riset lainnya. Selain itu, inkubator juga membantu individu untuk menjadi wirausaha atau pendiri startup. Dalam menjalankan aktivitasnya, inkubator didukung oleh entitas penyedia pendanaan dan pemerintah.
Mengapa Inkubator membutuhkan Kolaborasi dengan Elemen Ekosistem Lainnya?
Keberhasilan suatu inkubator dinilai dari keberhasilan startup-startup yang diinkubasinya.
Keberhasilan suatu inkubator dinilai dari keberhasilan startup-startup yang diinkubasinya. Sementara agar suatu startup berhasil, dukungan dari inkubator saja tidak cukup. Diperlukan bentuk-bentuk dukungan lain yang lebih tepat untuk diberikan oleh entitas lain, seperti sumber talenta (dari perguruan tinggi, komunitas profesi / profesional, dll), pendanaan, riset teknologi, akses pasar, dan lain-lain, sebagaimana diilustrasikan pada model di atas.
Di lain sisi, DNA startup adalah inovasi. Startup melakukan inovasi pada aspek produk dan model bisnis. Salah satu karakteristik utama dari inovasi adalah kebaruan. Sesuatu yang baru, belum tentu berhasil. Sehingga inovasi dan startup selalu memiliki risiko kegagalan. Semakin tinggi tingkat kebaruannya, semakin besar nilai komersil yang dapat dihasilkan dari suatu inovasi. Namun demikian, semakin tinggi tingkat kebaruannya, juga berarti semakin besar risiko kegagalan dari inovasi tersebut.
Dalam menangani suatu peluang usaha yang memiliki profil risiko yang tinggi, maka pendekatan terbaiknya adalah dengan berbagi risiko tersebut dengan pihak lain. Hal tersebutlah yang menjadi pertimbangan perlunya inkubator untuk berkolaborasi.
Mengapa Inkubator perlu menjadi Orkestrator?
Elemen ekosistem di atas, sangat mirip dengan ekosistem inovasi di dalam suatu perusahaan yang inovatif. Divisi Inovasi atau Product Development yang menangani pengembangan produk baru, membutuhkan dukungan dari seluruh divisi lain yang ada. Teknologi baru yang dihasilkan oleh Divisi Riset akan menambahkan keunggulan kompetitif dari produk yang dihasilkan. Divisi HR / SDM memungkinkan personalia yang cukup untuk menjalankan proses inovasi. Divisi keuangan yang menyediakan anggaran inovasi. Divisi Produksi, Divisi Sales, Divisi Distribusi, serta divisi-divisi lainnya juga turut membantu keberhasilan produk yang dihasilkan di tahap komersial.
Demikian pula Inkubator dalam suatu ekosistem startup. Inkubator membutuhkan lembaga riset agar startup yang dibinanya memiliki keunggulan kompetitif dari aspek teknologi. Inkubator membutuhkan perguruan tinggi sebagai pencetak calon pendiri startup yang berkualitas. Inkubator membutuhkan sumber pendanaan untuk mendanai startup yang dibinanya. Inkubator membutuhkan akselerator sebagai tongkat estafet berikutnya dalam memberikan dukungan kepada startup, khususnya dari sisi akses pasar.
Perbedan antara inkubator dan divisi inovasi di dalam perusahaan adalah pada ekosistem inovasi di dalam perusahaan, terdapat peran CEO perusahaan tersebut yang mengorkestrasi seluruh inisiatif strategis dalam inovasi dan pengembangan produk baru. Ketika misalnya Divisi HR tidak kooperatif, maka Divisi Inovasi dapat “mengadu” ke CEO, dan CEO akan menegur Divisi HR. Demikian pula ketika Divisi R & D tidak mampu menghasilkan hasil riset yang baik, maka CEO akan menegur pimpinannya.
Sedangkan pada ekosistem startup di mana inkubator berada, tidak ada kepemimpinan yang mengorkestrasi setiap elemen tersebut agar dapat bersinerdi secara lebih baik.
Kondisinya semakin menantang karena entitas-entitas yang diperlukan oleh inkubator agar berhasil, tidak terlalu membutuhkan inkubator. Kinerja inkubator dan jumlah lulusan yang berprofesi sebagai wirausaha tidak mempengaruhi secara dominan penilaian kinerja suatu perguruan tinggi. Pun demikian dengan lembaga riset. Jumlah aktivitas riset, pendanaan riset, dan publikasi ilmiah sudah cukup untuk membuat penilaian kinerjanya baik. Sehingga kemudian tidak banyak lembaga riset yang perduli dengan komersialisasi dari hasil invensinya. Venture capital pun demikian. Selama ini, mayoritas portofolio investasi mereka bukan startup yang pernah diinkubasi oleh inkubator.
Jadi, inkubator lebih membutuhkan mereka, dibanding mereka membutuhkan inkubator. Dan karena kondisi itulah, inkubator yang harus lebih aktif dalam mengaktifkan kolaborasi di dalam ekosistem.
Bagaimana Inkubator melakukan Fungsi Orchestrator?
Fungsi orkestrator dari suatu inkubator di ekosistem startup dapat dikaitkan dengan pendekatan inovasi yang diterapkan oleh inkubator.
Pendekatan Inovasi dari Inkubator
Mayoritas inkubator, selama ini menjalankan pendekatan inovasi yang sifatnya “bottom-up”. Pada pendekatan “bottom-up”, inkubator menetapkan bidang fokus (umumnya satu atau lebih sektor teknologi dan/atau industri), lalu inkubator membuka kesempatan bagi startup yang bergerak di bidang tersebut untuk mendaftarkan diri ke program inkubasi. Sehingga pada akhirnya, produk inovatif yang dihasilkan dari suatu program inkubasi ditentukan oleh ide-ide pendiri startup yang mendaftarkan diri ke program tersebut. Kualitas ide menentukan kualitas produk, dan kualitas produk pada akhirnya menentukan kinerja inkubator.
Pendekatan “bottom-up” juga dilakukan oleh perusahaan inovatif yang menerapkan pendekatan open innovation. Pendekatan open innovation dilakukan dengan hipotesis bahwa ide dari khalayak akan lebih baik daripada ide dari segelintir orang saja.
Pendekatan lain yang banyak diterapkan di perusahaan adalah “top-down”. Pada pendekatan ini, setelah menetapkan bidang fokus, perusahaan terlebih dahulu meneropong masa yang akan datang untuk mengetahui gambaran trend, kebutuhan, dan peluang dari bidang fokus tersebut di masa yang akan datang. Berdasarkan hasil analisis dan sintesis terkait dengan masa depan dari bidang fokus tersebut, berikutnya perusahaan menetapkan kriteria yang lebih spesifik terkait dengan inovasi yang akan dijalankan.
Pada pendekatan “bottom-up” inkubator menyerahkan sepenuhnya kriteria dari produk inovatif kepada pendiri startup. Ketika kinerja inkubator sangat ditentukan oleh keberhasilan startup dan produk yang diinkubasi, maka apabila inkubator menerapkan pendekatan “bottom-up” secara penuh artinya inkubator memasrahkan keberhasilannya kepada startup-startup yang mendaftarkan diri kepada program.
Agar inkubator memiliki kendali yang lebih baik terkait kinerjanya di masa yang akan datang, maka inkubator seharusnya juga menerapkan pendekatan “top-down”, baik secara eksklusif maupun secara bersamaan dengan pendekatan “bottom-up”.
Bagaimana Fungsi Orkestrator dengan pendekatan “Top-Down” dapat dilakukan Inkubator?
- Inkubator melakukan “foresight”, yaitu mempelajari trend masa depan dari bidang fokus yang telah dipilih oleh inkubator. Aktivitas “foresight” dapat dilakukan dengan melakukan analisis dan sintensis informasi-informasi peta jalan riset dari lembaga-lembaga riset internal dan eksternal, perkembangan teknologi, trend pasar dan industri, kriteria investasi dari investor, kriteria seleksi dari akselerator, perubahan peraturan dan norma etika industri, serta informasi-informasi lain yang relevan.
- Aktivitas “foresight” menghasilkan suatu prediksi terhadap masa depan dari sektor tersebut, yang antara lain terdiri atas aspek pengguna, bisnis (termasuk industri dan pasar), teknologi dan investasi.
- Berdasarkan hasil dari proses foresight, inkubator menetapkan “innovation intent” atau “where to play”. Yaitu kriteria yang spesifik mengenai produk inovatif yang dicari dari startup yang akan diinkubasi. Misalnya, bukan sekedar “produk berbasis AI”, tapi “produk berbasis AI yang dapat digunakan untuk mendeteksi penyakit degeneratif” atau “makanan sumber protein baru yang dapat dikonsumsi manusia, tanpa aroma dan tanpa rasa”.
- Berdasarkan ketetapan tersebut, inkubator kemudian mensosialisasikan kepada elemen ekosistem yang lain, antara lain:
- Menghubungi lembaga riset internal dan eksternal untuk mengetahui apakah mereka memiliki hasil riset atau roadmap riset yang sejalan. Termasuk mencoba untuk mempengaruhi lembaga riset tersebut agar memiliki peta jalan riset yang sejalan dengan “innovation intent” dari inkubator.
- Mensosialisasikan kepada pendiri startup dan calon pendiri startup mengenai hasil “foresight” dan hasil riset / invensi dari lembaga riset yang relevan dengan hasil “foresight” dan “intent”.
- Mengundang startup untuk memikirkan “business case” atau peluang produk dan bisnis yang sejalan dengan “innovation intent” / “where to play” dan memanfaatkan hasil invensi dari lembaga riset.
Keterangan:
- Tidak harus 100% dari startup yang diterima adalah yang sesuai dengan “innovation intent” / “where to play” yang ditetapkan oleh inkubator. Dapat diterapkan komposisi khusus misalnya X% yang sesuai dengan intent, dan sisanya adalah ide bebas selama masih dalam area fokus dari inkubator.
- Demikian pula dengan sumber invensi. Untuk kepentingan keberhasilan inkubator, pengelola inkubator harus berani untuk tidak hanya mengakomodir invensi dari lembaga riset internal saja (yaitu lembaga riset yang berada di bawah organisasi induk yang sama dengan inkubator). Apabila hanya mengakomodir invensi dari lembaga riset internal, maka berhasil atau tidaknya inkubator akan sangat tergantung dari kualitas riset lembaga-lembaga riset internal tersebut. Manajemen inkubator dapat menetapkan jumlah maksimal startup berbasis invensi lembaga eksternal, misalnya adalah sebesar B% dari total kuota inkubasi.
Seperti Apa Hasil Ideal yang Diharapkan?
Apabila proses foresight dan intent dilakukan dengan baik, maka dalam 1 atau 2 tahun, inkubator telah memiliki lulusan inkubasi yang memiliki produk yang sangat sesuai dengan kebutuhan pasar di era tersebut (tentu ada faktor ketidak-akuratan hasil foresight). Dengan kesesuaian tersebut, startup akan lebih mudah dalam:
- Memasarkan produknya kepada pelanggan prospektif.
- Mendapatkan kesempatan untuk diterima dalam program akselerasi bisnis.
- Mendapatkan sumber pendanaan untuk bisnisnya, baik dalam skema investasi maupun pinjaman usaha.
- Bersinergi dengan perusahaan lain di sektor industrinya.
- Sukses secara komersial dan berhasil menumbuhkan skala bisnisnya.
Apa yang Diperlukan agar Pendekatan ini Dapat Dilakukan?
Meskipun nampak seolah berat untuk dilaksanakan, pendekatan ini dapat mulai diterapkan dengan hanya tambahan 1 orang personil sebagai “Innovation Strategy & Partnership Specialist”.
Kualifikasi dari personil tersebut adalah sebagai berikut:
- Memahami teknologi dan industri sesuai bidang fokus inkubator
- Memiliki kemampuan analisis dan sintesis yang baik
- Memiliki kemampuan strategic thinking yang baik
- Memiliki kemampuan merancang, menginisiasi dan mengelola kemitraan
Tugas dari personil tersebut adalah melakukan proses foresight, merumuskan innovation intent, serta mengajak dan meyakinkan elemen ekosistem lainnya untuk bersama-sama menuju innovation intent tersebut.